Pro Dan Kontra, Tentang Kenaikan Tarif PPN Sebesar 12 Persen

niagaind | 31 Desember 2024, 08:22 am | 155 views

Niagaindo.id,Jakarta– Rencana Pemerintah untuk menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebsar 12 persen, yang akan diberlakukan Januari 2025, menuai berbagai tanggapan dari berbagai kalangan pengamat ekonomi Indonesia. Diskusi yang bertajuk “ Wacana PPN 12%: Solusi Fiskal, dianggap sebagai beban baru Bagi Masyarakat.    

Kenaikan tarif PPN ini merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021, tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), khususnya menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun demikian, yang kena PPN hanya Barang Kena Pajak (BKP), dengan Jasa Kena Pajak (JKP). Kebijakan seperti ini tidak sesuai diberlakukan oleh negara yang sedang lemah ekonominya.

Untuk melindungi masyarakat, Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan dampak dari kebijakan ini secara lus. Pemerintah masih memiliki opsi, untuk menunda kenaikan tarif PPN yang menurut rencana akan diberlakukan pada bulan Januari 2025 ini. Salah satu cara yang dapat ditempuh, menerbitkan Perppu atau  (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang).

Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Erry Riyana Hardjapamekas, juga menjelaskan “ Jika terdapat kondisi yang memenuhi unsur negara dalam keadaan kegentingan, dalam hal perekonomian, maka Perppu bisa diterbitkan. Hal ini merupakan persyaratan utama untuk penerbitan Perppu,” kata Erry dalam konferensi pers virtual di Jakarta, Sabtu (28/12/2024).

Erry menambahkan, jika Presiden Prabowo Subianto memilih untuk menunda kenaikan PPN, maka Perppu tersebut harus disetujui oleh DPR RI. Jika DPR tidak memberikan tanggapan dalam waktu tiga bulan, maka Perppu yang diajukan ke DPR RI tersebut, secara otomatis telah berlaku. Namun, jika DPR ada melakukan penolakan, maka Perppu itu harus dibatalkan.

Menurut tokoh Gerakan Nurani Bangsa, Lukman Hakim Saifuddin. Revisi undang-undang, untuk dijadikan Perppu, sebagai alternatif untuk menunda kenaikan PPN. Menurut mantan Menteri Agama itu, waktunya bisa dilakukan dengan cepat, bahkan hanya dalam hitungan hari, kata Lukman juga mengingatkan tentang dampak kenaikan PPN ini terhadap masyarakat kelas menengah ke bawah.

Ekonomi Indonesia sekarang sedang tidak baik-baik saja, lalu ditambah dengan kenaikan PPN 12 %. Selain itu Upah Minimum Regional (UMR) yang rendah, telah melahirkan banyak pengangguran di kalangan gen Z, ditambah lagi dengan lonjakan kesenjangan sosial di tengah-tengah masyarakat yang sedang lagi krises ekonomi, inflasi bakal naik. Dikhawatirkan, di kalangan Usaha Kecil dan Menengah (UKM), toko klontong atau sembako juga diprediksikan akan terancam gulung litar, karena daya belinya rendah.  

Anggota DPR RI Komisi XII Rocky Candra (RC) dapil Jambi, dalam menanggapi polemik kenaikan PPN sebesar 12% itu bukan kebijakan dari Presiden Prabowo. Melainkan hasil kinerja Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang proses pembahasan UU HPP (Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan) No. 7 Tahun 2021, ketika itu dipimpin Ketua Panja Dolfie Othniel Frederic dari PDIP, kemudian disahkan oleh Ketua DPR RI asal PDIP (Puan Maharani).

Saat ini, isu kenaikan PPN sebesar 12% itu menjadi “ Keren,“ di masyarakat. Seolah-olah kenaikan PPN 12 % ini, adalah kemauan Presiden Prabowo Subianto. “ Terkait dalam hal ini, saya selaku Anggota DPR RI, Komisi XII, dari Partai Gerindra menyatakan bahwa,anggapan dari kenaikan PPN 12% ini atas kemauan dari Presiden Prabowo Subianto, itu tidak benar.Yang benar adalah UU HPP ini hasil kinerja PDIP,” tegas Rocky Candra kepada awak media, hari Senin kemarin, (30/12/2024).   

Menurut Rocky, “ Pak Prabowo sudah kenyang difitnah sana-sini. Beliau mau memberi Makan Bergizi cara Gratis untuk anak-anak Indonesia, difitnah berbagai macam-macam tudahan. Mau melakukan hilirisasi agar kita jadi bangsa yang mandiri, eh, dimusuhi,” kata Rocky. Namun demikian adanya, Partai Gerindra tetap optimis, Indonesia akan terus menjadi baik, di bawah Presiden Prabowo, ucap Anggota Legislatif asal Dapil Jambi itu.

Sementara itu. Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, tokoh Gerakan Nurani Bangsa (GNB) mengusulkan, agar pemerintah mengeksplorasi sumber pendapatan lain, sebagai pengganti potensi hilangnya Rp 75 triliun, jika kenaikan PPN dibatalkan. ” Efisiensi pengeluaran juga harus jadi prioritas untuk menunjukkan sense of crisis, pada indikator ekonomi, ” kata Alissa. Mencontohkan seperti tingkat pengangguran, inflasi,pendapatan riil masyarakat yang belum sepenuhnya pulih.

Untuk itu, Alissa mendorong pemerintah, agar melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha, dalam dialog terbuka untuk mendapatkan masukan yang komprehensif. “ Pendekatan ini dapat menghindari resistensi sosial yang tidak diinginkan,” katanya. Untuk itu diharapkan, Pemerintah turut serta menjaga stabilitas keuangan Negara, tanpa mengesampingkan prinsip keadilan sosial. Kebijakan fiskal perlu dirancang, untuk menyeimbangkan penerimaan dan pengeluaran negara, guna ketahanan bangsa.(Ag)*

Berita Terkait